Unknown
A.    Pengertian Transpersonal
Transpersonal psychology (psikologi transpersonal) adalah istilah yang digunakan dalam mazhab psikologi yang digagas oleh, terutama, para psikolog maupun ilmuwan dalam bidang lainnya yang menekankan penjelasan tentang kemampuan dan potensi puncak manusia di mana istilah ini secara sistematis tidak memiliki tempat dalam teori positivistik atau behavioristik (mazhab pertama), psikoanalisa klasik (mazhab kedua), maupun psikologi humanistik (mazhab ketiga).
Pada awal hingga pertengahan abad ke-20, teori-teori psikologi barat yaitu Psikologi Klinis dan Psikologi Eksperimen sangat mendominasi dan menjadi dasar untuk praktik dan penelitian (Walsh & Vaughan, 1993). Namun kemudian beberapa peneliti menemukan bahwa ada pengalaman-pengalaman dalam hidup manusia yang dapat merubah perspektif dan tujuan hidup seseorang secara signi-fikan (Rateau, 2010). Para ahli humanistik percaya bahwa pengalaman-pengalaman manusia yang transformasional ini sangat krusial bagi kehidupan dan kesejahteraan, dan tidak dapat diukur dengan metode pengukuran baku (Braud & Anderson, 1998).

1.      Konsep Utama dalam Psikologi Transpersonal
Dalam memahami psikologi transpersonal dibutuhkan suatu dasar dari pengalaman personal untuk menghubungkan secara langsung terhadap konsep-konsep ini. Berikut adalah uraian John Davis dari konsep beberapa ahli untuk membantu memahami psikologi transpersonal (1) Context, Content, & Process, (2) Self-Transcendence & disindification, (3) Transpersonal Echopsychology, (4) Varieties of Religious Experiences, (5) Firts-hand & Second-hand religion, (6) Collective unconscious &arche-types, (7) Peak experience, (8) Hierarchy of needs & developmental, (9) Pre-Trans Fallacy, reductionism &elevationism, (10) Extrapersonal &transpersonal, dan (11) Spiri-tual emergency.

2.      Beberapa Teori Psikologi Transpersonal
a.      Psikoanalisis
Kajian psikoanalisis mengenai agama adalah adanya faktor-faktor luar yang memengaruhi pembentukan dan pelestarian kehidupan keagamaan. Psikoanalisis berusaha memberikan jawaban terhadap persoalan bagaimana dan sejauh mana perilaku, termasuk perilaku keagamaan, harus dipahami melebihi arti dasarnya. Psikoanalisis melihat agama sebagai insting ketidaksadaran (the unconsciousness) misterius yang ada dalam struktur kepribadian manusia. Dengan teori id, ego, superego, memerlihatkan betapa penelitian-penelitian psikologi yang ada selama ini telah menagabaikan ketidaksadaran.
Dalam hubungannya dengan agama, psikoanalisis melahirkan konsep-konsep sebagai berikut:
1)      Ada kekuatan yang memberikan dorongan dan tekanan pada diri manusia untuk mendapatkan keamanan dan kepuasan dalam keagamaan. Dengan demikian, manusia memiliki sifat homo religious.
2)      Secara fungsional perilaku keagamaan memiliki kesamaan antara satu dengan yang lain.
3)      Orang tua memiliki pengaruh dalam membentuk dan membangun emosi keagamaan pada anaknya dengan pengenalan tentang Tuhan.
4)      Reaksi negatif pada diri manusia semisal dorongan seksual, ketakutan, dan pelanggaran merupakan gejala tidak sehat pada penghayatan agama.
5)      Karena dorongan psikologis, Tuhan dan agama dapat menjadi khayalan dalam arti lahir.
6)      Agama autoritarian dapat menghambat perkembangan kemampuan manusia dan memerkecil kemampuan manusia untuk berfikir dan merasa.
b.      Behaviorisme
Mazhab behaviorisme melihat manusia sebagai makhluk yang terkondisikan. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan perilaku keagamaan, behaviorisme melihat gejala agama sebagai perilaku yang dikondisikan (conditioned behavior). Behaviorisme melihat manusia bersifat pasif dan tidak berinisiatif untuk bergerak Gerakan manusia lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan mekanistis yang berada di luar kesadarannya, manusia tidak diberikan peluang untuk menentukan diri (self-determination). Dengan kata lain, behaviorisme menolak kemampuan manusia untuk menentukan perilaku dirinya sendiri. Behaviorisme menekankan bahwa manusia bertindak hanya untuk menghindari dan mengurangi ketegangan, baik sosiologis maupun biologis. Berkaitan dengan agama, behaviorisme mengandung pengaruh yang mendorong dan menjadi perilaku manusia dan lingkungannya.

B.     Tokoh Transpersonal
1.      Carl Gustav Jung (1875-1961)
Tokoh penting dalam psikologi pada abad 20 memberikan sumangan teiri arkatipe dan ketiaksadaran kolektif yang mewarnai hampir semua diskusi psikologi transpersonal.
2.      Roberto Assagioli (1888-1974)
Menghasilkan skema yang sangat kompleks untuk enjelaskan pengembangan pribadi dengan tingkat kesaaran tinggi, menengah dan rendah dan transpersonal atau tingkat kesadaran yang tingi hanyalah refleksi atau proyeksi.  Dia menciptakan istilah Psikosintesis dan menggabarkan dua jalur individu untuk realisasi diri yaitu Psokosintesis pribadi dan Psikosintesi spriritual.
3.      Abraham Maslow (1908-1970)
Konsep utama yang sering kali disandarkan pada Abraham Maslow adalah tentang aktualisasi diri (self-actualization) dan pengalaman puncak (peak-experience). Konsep ini berpandangan bahwa orang yang telah tumbuh dewasa dan matang secara penuh adalah orang yang telah mencapai aktualisasi diri.
Orang yang tidak lagi tertekan oleh perasaan cemas, perasaan risau, tidak aman, tidak terlindungi, sendirian, tidak dicintai adalah orang yang telah terbebaskan dari metamotivasi. Ini adalah orang-orang yang dapat terdorong untuk mencapai nilai yang lebih tinggi dan bernilai bagi dirinya, yang tidak dapat diturunkan dengan hanya sekadar alat, mencakup keberadaan, keindahan, kesempurnaan dan keadilan.
Maslow mendasarkan teorinya tentang self-actualization pada sebuah asumsi dasar bahwa manusia pada hakekatnya memiliki nilai intrinsik berupa kebaikan. Dari sinilah manusia memiliki peluang untuk dapat mengembangkan dirinya. Perkembangan yang baik sangat ditentukan oleh kemampuan manusia dalam usahanya mencapai tingkat aktualisasi diri. Menurut teori Maslow, ketika kebutuhan-kebutuhan dasar seorang individu telah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan yang lebih tinggi yakni kebutuhan akan aktualisasi diri. Dengan kata lain, aktualisasi diri merupakan kebutuhan manusia yang paling tinggi dalam teori ini.
Berbeda dari kebutuhan-kebutuhan sebelumnya, yang didorong oleh kebutuhan-kebutuhan dasar, aktualisasi diri dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan yang bernilai tinggi, yang dikenal dengan istilah metamotivation atau b-values (being values). Dijelaskan lebih lanjut oleh Maslow, dalam teorinya tentang hierarki kebutuhan, bahwa kebutuhan manusia didorong oleh dua bentuk motivasi, yakni motivasi kekurangan (deficiency motivation) dan motif pertumbuhan (growth motivation). Motif kekurangan ditujukan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan organismic yang disebabkan oleh ―kekurangan, seperti lapar (kekurangan makan), haus (kurang minum), takut (kekurangan rasa aman) dan sebagainya.
Meski demikian, dalam kondisi tertentu orang yang tidak mengaktualisasikan diri juga dapat didorong oleh b-values, utamanya ketika terdapat kondisi-kondisi tertentu yang memaksanya. Dalam kondisi demikian, seorang individu dapat menunda pemenuhan kebutuhan dasarnya (basic needs) dan termotivasi oleh b-values atau metamotivation. Namun dalam situasi normal, hanya seorang individu yang mengaktualisasikan dirilah yang didorong oleh b-values.
Meskipun manusia memiliki kapasitas untuk tumbuh dan berkembang secara sehat namun tidak semuanya dapat mencapai tingkat aktualisasi diri, bahkan hanya sedikit orang yang dapat mencapainya. Hal ini disebabkan, karena di dalam diri manusia itu sendiri terdapat dua kekuatan yang saling tarik menarik. Kekuatan yang satu mengarah pada pertahanan diri, sehingga yang muncul adalah rasa takut salah, takut mengambil resiko, tergantung pada masa lalu dan sebagainya. Sementara kekuatan yang lain mengarah pada keutuhan diri dan keunikan diri, serta mengarah kepada terwujudnya seluruh potensi yang ada dalam diri, sehingga yang muncul adalah kepercayaan diri dan penerimaan diri secara penuh.
Dalam proses pertumbuhannya, manusia dihadapkan pada dua pilihan bebas (free choices), yakni pilihan untuk maju (progressive choice) atau mundur (regressive choice), di mana masing-masing akan mengarahkan manusia menuju kemajuan atau kemunduran; seperti pilihan untuk pertumbuhan atau kemandegan, kemandirian atau ketergantungan, kematangan atau ketidakmatangan, kepercayaan atau sinisme, kebaikan atau kebencian, keramahan atau kemarahan, keadilan atau pelanggaran hukum dan lain sebagainya.
Pilihan -pilihan di atas adalah merupakan ukuran yang akan menentukan arah perjalanan manusia, mendekat atau menjauh dari aktualisasi diri. Semakin banyak manusia menentukan pilihan pada pilihan maju maka akan semakin mendekatkannya pada aktualisasi diri. Demikian pula sebaliknya, jika seorang individu banyak menentukan pilihan pada pilihan mundur maka hal itu akan semakin menjauhkannya dari aktualisasi diri. Dengan demikian, seorang akan dekat pada aktualisasi diri jika ia semakin sempurna yang disebabkan oleh pilihan maju mereka sendiri. Maslow berpandangan bahwa untuk menuju pada aktualisasi diri dibutuhkan lingkungan yang baik.
4.      Stanislav Grov (1931)
Memiliki gagasan ekstrim tentang asal kesadaran eksternal. Dia banyak melakukan eksperimen tentang kesadaran dengan metode Ipsychedelics,Izat-zat yang dapat memengaruhi otak an syaraf sehinga menciptakan kondisi kesadaran atau consciousness yangberbeda dari biasanya. Hal ini berkembang akibat pembatasan hukum terhadap penelitian dengan media narkoba. Grof menunjukan tiga domain dari jiwa yang bisa dituju yaitu ketidak sadara biografis perinatal dan transpersonal. Transpersonal dibagi tiga katagori pengalaman yaitu dalam realitas consensus melampaui realitas consensus, dan pengalaman psychoid  pada batas fisik atau mental.
5.      Charles Tart (1937)
Kesadaran  sebagai system yang kompleks komponen yang berfungsi bersama-sama.  Masing-masing komponen memilki struktur dengan cara yang berbeda yang masing-masingnya mampu menciptakan keadaan diskrit dari kesadaran yang berbeda. Komponen tersebut tidak membangun sebuah skema spekulatif yang besar, tetapi mereka mencoba untuk menganalisi setiap d-SoC (discrete state of consciousness).
6.      Ken Wilber (1950)
Ken Wilber bukanlah seorang yang berlatar belakang sebagai sarjana Psikologi ataupun keilmuan namun berkat temuannya yang meginspirasi serta dapat memberi sumbangan yang besar pada dunia transpersonal beliau mengembagkan model spectrum perkembangan dalam sebuah sintesa terhadap berbagai model kognitif, moral, kepribadian dan perkembangan spiritual. Ken Wilber juga telah mengembangkan model evolusi kesadaran yang menginterasikan filsafat dan psikologi dari arat dan timur, kuno dan modern. Yang iya namakan sebagai Integral Psychology.
7.      William James (1842-1910): Konsep Religious Experience
James menekankan bahwa sifat manusia yang khas ditemukan dalam kehidupan dinamis arus kesadaran manusia. Baginya, kesadaran merupakan kunci untuk mengetahui pengalaman manusia, khususnya agama. Untuk menafsirkan agama, orang harus melihat isi kesadaran keagamaan.
James melihat kesadaran keberagamaan sebagai hal yang subyektif. Bagi dia kebenaran harus ditemukan, bukan melalui argumen logis, akan tetapi melalui pengamatan atas data pengalaman. Dalam pandangannya, jalan lapang menuju kesadaran keagamaan adalah melalui pengalaman keagamaan yang diungkapkan orang. Oleh karenanya, pemahaman keagamaan tidak hanya cukup diperoleh melalui teori-teori atau dalil-dalil yang menjadi pijakan seluruh penganut agama tertentu, tetapi harus dibuktikan melalui data pengalaman.
Menurut James studi agama harus memfokuskan diri pada perilaku keagamaan pribadi, karena bahan asli ilmu agama sangat bergantung pada pengalaman keagamaan pribadi.
8.      Gordon Allport (1897-1967): Konsep Becoming
Gagasan Allport tentang spiritualitas tidak dapat dipisahkan dari gagasan besarnya tentang kepribadian; yaitu yang dikenal dengan konsep menjadi (becoming). Kepribadian tidak hanya dipahami dari asalnya kebutuhannya yang instingtif atau pengaruh lingkungan di masa lampau.. Meski kepribadian bersifat tetap dalam eksistensinya, namun ia terus menerus berubah, karena merupakan produk kompleks dari turunan biologis, pengaruh budaya, gaya pemahaman, dan pencarian spiritual.
Meskipun kepribadian terus menerus berubah, setiap pribadi memiliki ciri kesatuan, keutuhan dan perbedaan yang khas, sebagai inti terdalam yang membuat orang dapat diidentifikasi. Allport menyebut kekhasan tersebut sebagai propium, yaitu sesuatu yang lebih sempit dari kepribadian dan lebih luas dari ego. Berkaitan dengan agama, Allport menempatkannya pada bidang sentiment. Baginya, agama tidak dapat dijelaskan melalui faktor intrinsik atau emosi. Agama berkaitan dengan satu set pengalaman yang amat beragam yang dapat berpusat pada satu obyek religius. Sentimen keadaan ini berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan ini mencerminkan individualitas pribadi dalam aspek pemikiran dan emosi dalam menghadapi makna dan tujuan hidup. Keberagaman agama berdampak pada keberagaman pengaruhnya pada setiap orang. Demikian pula halnya dengan penafsiran rasional terhadap agama yang juga tidak terbatas. Atas dasar itu, mustahil terjadi keseragaman dalam agama. Tidak ada definisi yang akan mampu menjelaskan kerumitan, kepelikan, dan warna keberagamaan setiap pribadi.

C.    Tujuan Psikologi Transpersonal
Tujuan psikologi transpersonal adalah pencapaian potensi tertinggi manusia seperti pada ketidaksadaran tertinggi, dengan melepaskan hambatan-hambatan. Dalam prakteknya tidak dapat dipungkiri bahwa meditasi dan teknik kesadaran lainnya adalah hal yang utama.

D.    Psikoterapi Transpersonal
Psikoterapi transpersonal memperbolehkan adanya gabungan teknik-teknik dalam psikologi, seperti halnya gestalt, behaviorisme, kognitif, dan psikodinamika.. selain itu, psikoterapi transpersonal tidak engabaikan tujuan terapi tradisional, namun menambahkannya dengan tujuan seperti memtransendensikan proses-proses dalam psikodinamika.
Cortright (dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015) mengidentifikasikan karakter pendekatan transpersonal sebagai berikut, (1) Suatu kerangka teoritis yang melihat kerja psikologis dalam konteks spiritual, (2) perlu adanya kesadaran, (3) multidimensi dan experiental, (4) heart-centered, (5) sangat optimistic dan penuh harapan, dan (6) transformasi psycho-spiritual membentang jauh melampaui penyembuhan dan pertumbuhan diri.
Asumsi dasar yang dimiliki oleh pendekatan transpersonal adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang kompleks, gangguan-gangguan yang dapat diderita manusia sangat multidimensional, dan perkembangan ilmu sangat cepat, sehingga tidak mungkin hanya menggunakan hanya satu strategi. Terapi-terapis transpersonal mencari memtode dari perpaduan teknik-teknik mainstream dengan perspektif transpersonal yang bertujuan untuk mencocokkan dengan kebutuhan klien. Perbedaan utama antara pendekatan transpersonal dengan pendekatan-pendekatan konvensional adalah terapi dilihat dari sisi spirituak dan transformasi, dan menggunakna praktik-praktik spiritual misalnya meditasi.

1.      Proses Terapi Transpersonal
Terapi transpersonal mempunyai sasaran untuk menyambungkan kembali klien dengan sumber kebijaksanaan yang ada dilamnya, selain itu juga menggabungkan conscious ego dengan subconscious yang ada di dalam dengan maksud untuk mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan individu untuk menyembuhkan diri. Adapun hasil yang ingin dicapai oleh terapi transpersonal, antara lain:
a.       Pemahaman bahwa ide, kepercayaan, dan ekspektasi, ketiganya memainkan peran dalam perwujudan pengalaman peribadi. Klien dilatih untuk memahami bahwa energy psikis mereka berperan dalam setiap pengalaman.
b.      Menyadari dan kemudian menelaah ide, kepercayaan, dan ekspektasi yang dimiliki. Setelah klien paham, maka langkah kedia adalah mengidentifikasi dan menelaah hal-hal tersebut.
c.       Memahami dan mengapresiasi kekuatan kesadaran. Dalam hal ini klien harus menyadari bahwa ia memiliki control sepenuhnya akan pikiran-pikiran sadarnya.
d.      Memilah-milah dan berdamai dengan kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan.
e.       Meminta bantuan dan bimbingan dari hati nurani. Ego dan hati nurani klien haruslah selaras. Apabila bertentangan maka hati nurani tidak dapat memberi masukan pada ego.
Metode-metode yang dapat dilakukan dalam terapi transpersonal, antara lain:
a.       Rowan (dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015) menggunakan metode spiritualitas berupa terapi-terapi transpersonal, image work, meditasi, dan doa.
b.      Metzner (dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015) menggunakan teknik mendengarkan klien dalam hal mimpi, mitologi, ide-ide, dan pengalaman yang mengandung suatu hubungan dengan alam semesta.
c.       R.D Laing (dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015) menyarankan penggunaan intuisi dan insight bagi terapis sebagai respon bagi klien untuk mengembangkan pertumbuhan personal, interpersonal, dan spiritual.
d.      Boorstein (dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015) menggunakan teknik meditasi, psychedelics, biblioterapi spiritual,  hypnosis terhadap kehidupan di masa lalu, yoga, visualisasi, psikodrama, dan holotropic breathing.
e.       Davis (dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015) mengunakan modifikasi perilaku, restrukturitas kognitid, praktik gestalt, psikodinamika, dreamwork, terapi music dan seni,  serta meditasi.
f.       Psychosynthesis menggunakan visualisasi, menggambar bebas, training will, ekspresi fisik, menulis, disidentifikasi, meditasi, kerja interpersonal, dan kerja kelompok.
Dalam psikoterapi transpersonal terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam hubungan terapis dan kien, yaitu:
a.       Hubungan bersifat nondual
-          Tidak lagi dibedakan pemikiran yang dikotomi sebagai subjek dan objek.
-          Menolak istilah dikotomi: normal-abnirmal, sehat-sakit, waras-gila atau label dikotomi lainnya.
b.      Integrasi satu sama lain
-          Empati dan jarak hubungan
-          Empati adalah resonansi pada diri seseorang dalam diri orang lain.
-          Menghindari transference dan counter-transference.
c.       Fenomena linking dan resonansi
-          Linking sebagai jenis lain dari counter transference, menurut Rowan (dalam Puji dan Hendriwinaya, 2015). Pada tahappan tertentu terapis membiarkan diri menjadi satu dengan klien. Awalnya hanya ingin menyamakan diri, sehingga lebih mudah dalam berbicara dan menghilangkan rasa terancam. Namun, hal ini eawan terjadinya counter transference.

2.      Principle of Holotropic Breathwork
Posisi teoritis. Holotropic breathwork adalah metode psikoterapis berdasarkan pengalaman Stan and Chritina Grof di Esalen Institute in Big Sur, Caliornia, pertengahan 1970. Sebuah pemahaman, yang  luas dari jiwa manusia yang mencakup biografi, perinatal, dan dimensi transpersonal. Fenomena dari semua domain dipandang sebagai konstituen alami dan normal dari proses psikologis, mereka diterima, dan didukung tanpa preferensi.
Proses penyembuhan batin ini mewujudkan kebijaksanaan, terapi yang melampaui pengetahuan yang dapat diperoleh dari pemahaman kognitif praktisi individual atau dari sekolah psikoterapi atau kerja tubuh.

3.      Kekuatan penyembuh dari pernapasan
Dalam masyarakat kuno dan praindustri, napas dan pernapasan memiliki memainkan peran yang sangat penting dalam kosnologi, mitologi, dan filsafat, serta alat penting dalam praktik ritual dan spiritual. Sejak awal, hampir setiap sistem psychospiritual utama berusaha untuk memahami sifat manusia telah dilihat napas sebagai link penting antara alam, tubuh manusia, jiwa dan roh. Teknik-teknik khusus yang melibatkan pernapasan intens atau penahanan napas juga merupakan bagian dari berbagai latihan di Kundalini Yoga, Siddha Yoga, Vajrayana Tibet, praktik Sufi, Buddha Burma dan meditasi Tao, dan banyak lainnya.

4.      Menggambar Mandala: kekuatan ekspresif seni
Mandala adalah berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti harfiah “lingkaran” atau “completion”. Dalam pengertian yang paling umum, istilah ini dapat digunakan untuk setiap desain yang menunjukkan geometri simetris kompleks, seperti jaring laba-laba, susunan kelopak dalam bunga atau bunga, gambar dalam kaleidoskop, jendela kaca patri di katedral Gothic atau desain labirin di lantainya.
Menurut Jung, pengunaan mandala dalam praktik spiritual dan religius dari berbagai budaya dan ilmu kimia menarik perhatian. Menurutnya, mandala adalah “ekspresi psikologis totalitas diri”.

5.      Pendekatan praktik Grof dan Grof (1990)
Unsur-unsur dalam HB adalah bernapas lebih dalam dan lebih cepat, musik yang menggugah, fasilitas pelepasan energi melalui gerakan spefisik. HB dapat dilakukan secara satu per satu. Pertama, peserta menerima persiapan teoritis mendalam yang mencakup deskripsi sesi Holotropic (biografi, perinatal dan transpersonal) dan instruksi teknis dari kedua experiencers dan pengasuh. Pernapasan Holotropic lebih cepat dan lebih dalam dari biasanya, umumnya tidak ada instruksi khusus lain yang diberikan sebelum atau selama sesi untuk tingkat, pola, dan sifat bernapas. Peran pengasuh selama sesi adalah tanggap dan tidak mengganggu, memastikan pernapasan yang efektif, menciptakan lingkungan yang aman, menghormati pengungkapan alam peserta, dan memberikan bantuan dalam segala situasi yang memerlukannya. Sesi berakhir biasanya antara dua dan tiga jam. Namun, sebagai aturan umum, proses ini diperbolehkan untu mencapai penutupan alami. Pada periode penghentian fasilitator menawarkan pelepasan belom menyelesaikan semua ketegangan emosional dan fisik aktif selama sesi. 

berikut ada short movie mengenai transpersonal :
https://www.youtube.com/watch?v=Veqj81MFlcQ
Unknown
Pengertian Kepemimpinan

Menurut  Yukl (dalam Wirawan, 2014) kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju tentang apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya, dan proses memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Burns (dalam Wirawan, 2014) kepemimpinan adalah sebagai pemimpin mendorong pengikutnya untuk bertindak untuk tujuan tertentu yang mewakili nilai motivasi - keinginan dan kebutuhan; aspirasi dan harapan-baik pemimpin dan pengikut. Kepemimpinan adalah proses timbal balik dari memobilisasi, oleh orang-orang dengan motif  dan nilai-nilai tertentu, berbagai ekonomi, sumber daya politik dan lainnya, dalam konteks persaingan dan konflik, di lain untuk mewujudkan tujuan secara mandiri atau saling diselenggarakan oleh kedua pemimpin dan pengikut.
Menurut Gardner (dalam Wirawan, 2014) kepemimpinan adalah proses persuasi atau misalnya dengan mana seorang individu untuk kepemimpinan (tim) menginduksi kelompok untuk mengejar tujuan yang diselenggarakan oleh pemimpin atau bersama oleh pemimpin dan pengikutnya.
Jadi, dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan proses persuasi dan mempengaruhi orang lain untuk memahami tentang apa yang perlu dilakukan dan bagaimana cara melakukannya dengan proses memfasilitasi individu untuk mewujudkan tujuan secara mandiri yang diselenggarakan bersama pemimpin dan pengikutnya

B.     Jenis-jenis Kepemimpinan
a.      Kepemimpinan demokratis
 Tipe pemimpin ini menganggap bahwa pemimpin adalah merupakan suatu hak.
Ciri-ciri pemimpin tipe ini adalah sebagai berikut :
·         Menganggap bahwa organisasi adalah milik pribadi
·         Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi.
·         Menganggap bahwa bawahan adalah sebagai alat semata-mata
·         Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat dari orang lain karena dia menganggap dialah yang paling benar.
·         Selalu bergantung pada kekuasaan formal
·         Dalam menggerakkan bawahan sering    mempergunakan pendekatan (Approach) yang mengandung unsur paksaan dan ancaman.

Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh tipe mimpinan otokratis tersebut di atas dapat diketahui bahwa tipe ini tidak menghargai hak-hak dari manusia, karena tipe ini tidak dapat dipakai dalam organisasi modern.

b.      Kepemimpinan militeristis
      Perlu diparhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan seorang pemimpin   tipe militeristis tidak sama dengan pemimpin-pemimpin dalam organisasi militer. Artinya tidak semua pemimpin dalam militer adalah bertipe militeristis.Seorang pemimpin yang bertipe militeristis mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
·         Dalam menggerakkan bawahan untuk yang telah ditetapkan, perintah mencapai tujuan digunakan sebagai alat utama.
·         Dalam menggerakkan bawahan sangat suka menggunakan pangkat dan jabatannya.
·         Senang kepada formalitas yang berlebihan.
·         Menuntut disiplin yang tinggi dan kepatuhan mutlak dari bawahan
·         Tidak mau menerima kritik dari bawahan
·         Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh tipe pemimpin militeristis jelaslah bahwa ripe pemimpin seperti ini bukan merupakan pemimpin yang ideal.

c.       Kepemimpinan paternalistis
      Tipe kepemimpinan paternalistis, mempunyai ciri tertentu yaitu bersifat paternal atau kebapakan. Pemimpin seperti ini menggunakan pengaruh yang sifat kebapakan dalam menggerakkan bawahan mencapai tujuan. Kadang-kadang pendekatan yang dilakukan sifat terlalu sentimentil. Sifat-sifat umum dari tipe pemimpin paternalistis dapat dikemukakan sebagai berikut:
·                 Menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa.
·                 Bersikap terlalu melindungi bawahan
·                 Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan. Karena itu jarang dan pelimpahan wewenang.
·                 Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya tuk mengembangkan inisyatif daya kreasi.
·                 Sering menganggap dirinya maha tau.
Harus diakui bahwa dalam keadaan tertentu pemimpin seperti ini sangat diporlukan. Akan tetapi ditinjau dari segi sifar-sifar negatifnya pemimpin paternalistis kurang menunjukkan elemen kontinuitas terhadap organisasi yang dipimpinnya.

d.      Kepemimpinan karismatis
     Para ahli manajemen belum berhasil menamukan sebab-sebab mengapa seorang pemimpin memiliki kharisma. Yang diketahui ialah tipe pemimpin seperti ini mampunyai daya tarik yang amat besar, dan karenanya mempunyai pengikut yang sangat besar. Kebanyakan para pengikut menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin seperti ini, pengetahuan tentang faktor penyebab karena kurangnya seorang pemimpin yang karismatis, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural powers), perlu dikemukakan bahwa kekayaan, umur, kesehatan profil pendidikan dan sebagainya tidak dapat digunakan sebagai kriteria tipe pemimpin karismatis.

e.       Kepemimpinan Demokratis
Dari beberapa tipe kepemimpinan yang telah disebutkan di atas, tipe kepemimpinan demokratis dianggap adalah tipe kepemimpinan yang terbaik. Hal ini disebabkan karena tipe kepemimpinan ini selalu mendahulukan kepentingan kelompok dibandingkan dengan kepentingan individu.
Beberapa ciri dari tipe kepemimpinan demokratis adalah sebagai berikut:
·         Dalam proses menggerakkan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah mahluk yang termulia di dunia.
·         Selalu berusaha menselaraskan kepentingan dan tujuan pribadi dengan kepentingan organisasi.
·         Senang menerima saran, pendapat dan bahkan dari kritik bawahannya.
·         Mentolerir bawahan yang membuat kesalahan dan berikan pendidikan kepada bawahan agar jangan berbuat kesalahan dengan tidak mengurangi daya kreativitas, inisyatif dan prakarsa dari bawahan.
·         Lebih menitik beratkan kerjasama dalam mencapai tujuan.
·         Selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya.
·         Berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.
Dari sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin tipe demokratis, jelaslah bahwa tidak mudah untuk menjadi pemimpin demokratis.



C.     Teori Sistem 4 dari Rensis Likert
Rensis Linkert dari Universitas Michighan mengembangkan model peniti penyambung (linking pin model) yang menggambarkan struktur organisasi. Menurut Luthans (1973) struktur peniti penyambung ini cenderung menekankan dan memudahkan apa yang seharusnya terjadi dalam struktur klasik yang birokratik. Ciri organisasi berstruktur peniti penyambung adalah lambatnya tindakan kelompok, hal ini harus diimbangi dengan memanfaatkan partisipasi yang positif. Bila seseorang memperhatikan dan memelihara pekerjanya dengan baik maka operasional organisasi akan membaik.
Sistem 4 dikembangkan oleh Likert. Dimulai dari sistem 1 (gaya yang sangat otoriter) hingga sistem 4 (gaya yang didasarkan pada kerja tim dan kepercayaan timbal balik). Berikut pembagian sistem 4 menurut Likert:

a.      Sistem 1 (Explosive – Autocracy)
Manajemen tidak mempunyai kepercayaan pada bawahan, karena mereka jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan apapun. Sebagian besar keputusan dan penetapan tujuan organisasi dibuat oleh manajemen puncak dan diturunkan ke bawah melalui garis komando. Para bawahan dipaksa bekerja dengan ketakutan, ancaman, dan hukuman. Sistem yang penuh tekanan dan otoriter dimana segala sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak memerlukan umpan balik. Atasan tidak memiliki kepercayaan terhadap bawahan dan bawahan tidak memiliki kewenangan untuk mendiskusikan pekerjaannya dengan atasan. Akibat dari konsep ini adalah ketakutan, ancaman dan hukuman jika tidak selesai. Proses komunikasi lebih banyak dari atas kebawah.

b.      Sistem 2 (Benevolent – Autocracy)
Manajemen dianggap mempunyai kepercayaan pada bawahan yang semakin berkurang. Sebagian besar keputusan dan penetapan tujuan organisasi dibuat di manajemen puncak, tetapi banyak keputusan dibuat berdasarkan kerangka tertentu di lapisan bawah. Para karyawan diberi motivasi dengan hadian dan hukuman.
c.       Sistem 3 (Consultative)
Manajemen dipandang mempunyai kepercayaan besar pada bawahan, namun tidak sepenuhnya. Kebijakan dan keputusan umum ditetapkan di manajemen puncak, tetapi bawahan diizinkan untuk membuat keputusan spesifik di lapisan bawah. Komunikasi berjalan baik ke atas maupun ke bawah. Hadiah, kadang hukuman dan berbagai keterikatan digunakan untuk memberi motivasi karyawan. Beberapa proses pengendalian yang penting didelegasikan ke bawah dibarengi dengan perasaan tanggung jawab baik pada tingkat atas maupun bawah. Sistem konsultatif dimana pimpinan mencari masukan dari karyawan. Disini karyawan bebas berhubungan dan berdiskusi dengan atasan dan interaksi antara pimpinan dan karyawan nyata. Keputusan di tangan atasan, namun karyawan memiliki andil dalam keputusan tersebut.
d.      Sistem 4 (Participative Group)
Manajemen dipandang mempunyai kepercayaan penuh terhadap bawahan. Pengambilan keputusan disebar ke seluruh lapisan organisasi, namun terpadu sekali. Komunikasi terjadi tidak hanya ke atas dan ke bawah, melainkan juga ke samping yaitu antar sejawat. Sistem partisipan dimana pekerja berpartisipasi aktif dalam membuat keputusan. Disini manajemen percaya sepenuhnya pada bawahan dan mereka dapat membuat keputusan. Alur informasi keatas, kebawah, dan menyilang. Komunikasi kebawah pada umumnya diterima, jika tidak dapat dipastikan dan diperbolehkan ada diskusi antara karyawan dan manajer. Interaksi dalam sistem terbangun, komunikasi keatas umumnya akurat dan manajer menanggapi umpan balik dengan tulus. Motivasi kerja dikembangkan dengan partisipasi yang kuat dalam pengambilan keputusan, penetapan goal setting (tujuan) dan penilaian.

Sumber
Friska. (2004). Kepemimpinan dalam organisasi. USU Repository, 4-6.  
Hasibuan, Malayu, S., P. (2003). Manajemen sumber daya manusia, edisi revisi. Jakarta: Ghalia Indonesia.